Melihat Allah di akhirat
Pada dasarnya permasalahan ini dapat dikelompokkan menjadi dua pembahasan: Pertama, Kelompok yang menetapkan ru’yatullah fil akhirat Imam Asy’ari di dalam kitabnya Maqalaat al-Islamiyyin mengatakan bahwa:
جملة ما عليه اهل الحديث والسنة الاقرار بالله وملائكته....الى ان قال.. ويقولون اِن الله سبحانه وتعالى يرى بالابصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر يراه المؤمنون ولا يراه الكافرون لانهم عن الله محجوبون فال الله عز وجل "كلا انهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون"
Di antara pendapat Ahlussunnah adalah orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah SWT dengan mata, sebagaimana dapat melihat bulan purnama dengan mata (artinya, tidak ada kesamaran dan keraguan dalam melihat-penulis), dan hal ini tidak berlaku bagi orang kafir seperti dalam firman-Nya (QS. Al-Tathfif 15);
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.
Bahkan Imam Syafi’I saking begitu yakinnya bahwa kelak di akhirat Allah SWT dapat dilihat ia berani mengatakan:
امَا والله ِ لَوْ لَمْ ُيوقِنْ محمد بن ادريس بِاَنَّه يَرَى رَبَّه فِى المَعاد لمّا عَبِدَه فى الدنيا
Ingatlah, aku bersumpah atas nama Allah SWT, andaikan Muhammad bin Idris tidak yakin bahwa ia kelak akan meliat Tuhannya di akhirat, niscaya ia tidak akan menyembah-Nya di dunia.
Banyak teks-teks baik al-kitab, maupun al-sunnah mengenai masalah ru’yah (melihat Allah). Di samping al-kitab dan al-sunnah, terjadinya ru’yah di akhirat juga telah menjadi konsensus di antara para sahabat (Al-Bajuri, tt; 71). Adapun dalil-dalil mengenai ru’yatullah fil akhirat antara lain;
QS.Al-Qiyamah 22-23,
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Kata النظر pada ayat di atas menurut Al-Juba’i (W 303 H) seorang tokoh Mu’tazilah yang menafikan ru’yah adalah الانتظار (menunggu) di samping itu kata الى menurutnya adalah kalimat isim yang mempunyai arti النعمة (nikmat) sehingga makna ayat di atas menurutnya adalah منتظرة نعمة ربها (menunggu nikmat Tuhannya). (Al-Bajuri, tt : 71).
Apa yang di katakan oleh Al-Jubai di atas, menurut Al-Bajuri, tidak dapat dibenarkan, karena kata النظر mempunyai beberapa penggunaan sesuai dengan rangkain dan ke-muta’addi-annya (transitif). Jika ia muta’addi dengan sendirinya, maka bermakna التوقف والانتظار (berhenti dan menunggu) seperti dalam firman-Nya, QS Al-Hadid 13. Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.
Jika muta’addi menggunakan فى mananya adalah التفكروالاعتبار (berpikir dan mengambil pelajaran) seperti dalam firman-Nya, QS Al-A’raf 185, Dan apakah mereka tidak berpikir dan mengambil pelajaran (terhadap) kerajaan langit dan bumi?
Jika muta’addi menggunakan الى maka maknanya adalah المعاينة بالابصار (pengamatan dengan mata) seperti dalam firman-Nya QS. Al-An’am 99. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya.
Dengan demikian, bahwa kata النظر ketika disandarkan pada الوجه yang mana الوجه adalah termasuk tempatnya mata, maknanya adalah “melihat”, dan ini merupakan pendapat semua mufassir, dari golongan ahlussunnah dan ahlul hadist tegas Abu al-‘Izz dalam tulisannya (Al-Qadli ‘Iyadh, Vol I : 209).
QS. Yunus, 26:
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Kata al-husna pada ayat di atas adalah surga, sedangkan kata wa ziyadah, menurut jumhur al-mufassirin adalah melihat Allah (Al-Bajuri, tt: 71).
QS. Al-Muthaffifin 15:
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhan mereka.
Menurut Al-Zujaj, ayat di atas menunjukkan bahwa kelak Allah SWT dapat dilihat di hari kiamat. Jika tidak, maka ayat di atas tidak ada faidahnya, dan juga “ketidakdapatan melihat Allah SWT” bagi orang kafir juga bukan sesuatu yang hina, dan Allah telah memberitahukan (QS Al-Qiyamah 22-23) bahwa orang mukmin akan melihat-Nya dan orang kafir akan terhalang dari (melihat)-Nya (Al-Qurthubi, 2002, Vol X : 216).
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jarir (Al-Bukhori no 7435),
قال النبي صلى الله عليه وسلم انكم سترون ربكم عِيانا
Nabi bersabda sesungguhnya kalian akan melihat Tuhanmu dengan jelas.
Meskipun Ahlussunnah menetapkan adanya ru’yah, namun perlu digarisbawahi bahwa ru’yah tersebut tanpa adanya takayyuf (cara melihat objek) sebagaimana berlaku pada sesuatu yang hadist (baru), seperti muqobalah (berhadapan), jihah (adanya arah tertentu), tahayyuz (bertempat) dan sebagainya karena ru’yah di sini merupakan suatu kekuatan yang dijadikan oleh Allah bagi makhluk-Nya tanpa adanya sarat muqobalah, tahayyuz dan lain sebagainya (Al-Bajuri, tt : 71-72).
Kedua, kelompok yang menafikan ru’yatullah fil akhirat
Di antara kelompok-kelompok yang menafikan hal ini adalah Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah (Abi al-‘Izz, Vol I; 207). Adapun dalil yang digunakan oleh kelompok Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan Imam Fahruddin Al-Razi (W 606 H) antara lain adalah sebagai berikut (Al-Razi, tt, Vol I : 295-296):
QS. Al-An’am 103;
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Menurut Al-Razi, berdasarkan ayat di atas mereka berpegang teguh pada dua hal; pertama, tiada seorang pun yang dapat melihat Allah, kedua, ayat di atas mencegah seseorang dapat melihat-Nya.
Adapun penjelasan tentang keduanya menurut Al-Razi adalah sebagai berikut:
Persoalan:
Idrak jika disandarkan pada al-bashar adalah al-ru’yah wal ibshar (melihat dengan mata) dengan alasan bahwa tidak sah menetapkan salah satunya (ru’yah atau idrak) lantas menafikan satunya lagi, maka tidak sah apabila dikatakan رأيته وما ادركته بعيني (saya melihatnya dan saya tidak dapat mencapainya dengan mata saya), begitu pula ادركته بعيني وما رايته (saya dapat mencapainya dengan mata saya, dan saya tidak melihatnya). Hal ini menunjukkan bahwa idrak al-bashar dan ru’yah adalah satu. Jika demikian, (menurut mereka) Allah menafikan bahwa tiada seorang pun yang dapat melihat Allah dengan mata kepala kapan pun itu.
Bantahan:
Argumen ini dipatahkan oleh Imam Fahruddin Al-Razi sebagai berikut :
“Kita tidak bisa menerima bahwa idrak adalah ungkapan dari ru’yah, idrak adalah ungkapan dari kata al-wusul (sampai / mencapai ), seperti ungkapan ادرك الغلام اذا صار بالغا seorang pemuda telah (mencapai) menginjak remaja ketika ia baligh ادركت الثمرة اذا وصلت الى حد النَّضْجِ buah telah masak ketika sampai (pada batas) matang.
Allah berfirman dalam QS. Al-Syu’ara 61,
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul."
Selanjutnya Al-Razi berkata, jika engkau telah mengetahui (akan hal) ini, maka kami katakan “sesungguhnya seseorang ketika melihat sesuatu dan ia melihatnya dari ujung hingga akhirnya, maka kepadanya dikatakan انه ادركه (sesunguhnya ia telah mencapainya) dengan ketentuan bahwa ia telah meliputi semua yang ia lihat. Dan tentunya hal ini hanya berlaku bagi sesuatu yang ada ujung dan akhirnya, sedangkan Allah Maha Suci dari hal ini. Dengan demikian menafikan idrak belum tentu menafikan ru’yah.
Persoalan:
Dalam ayat tersebut Allah memuji dirinya bahwasannya tiada sesuatu pun pandangan mata yang dapat melihatnya, dan “setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah naqsu (tercela)” dan hal ini (naqsu) muhal bagi Allah. Dengan demikian, ru’yah adalah sesuatu yang dicegah atau dilarang.
Bantahan:
Konteks ayat لا تدركه الابصار adalah tamadduh (pujian) yang menunjukkan bahwa ru’yatullah adalah sesuatu yang jaiz. Jika ru’yatullah tidak jaiz, maka tidak ada tamadduh dalam ayat tersebut. Secara logis bahwa substansi sesuatu yang ma’dum (tidak ada) itu tidak terlihat, dan sesuatu yang dirinya sendiri tidak terlihat maka “ketidakkelihatannya” tersebut tidak akan menetapkan madh (pujian) atau ta’dzim (pengagungan). Berbeda jika pada diri sesuatu tersebut jaiz terlihat, lalu sesuatu tersebut mempunyai kemampuan (qudroh) untuk menghalangi penglihatan sehingga ia tidak tercapai oleh penglihatan maka dengan kemampuan yang dimiliki inilah menunjukkan adanya madh (pujian) dan ta’dzim (pengagungan). Dengan demikian, ayat لا تدركه الابصار menunjukkan bahwa Allah Ta’ala ‘wenang” terlihat (Abdul Al-Rumi, 1985: 71-72).
Disamping itu, menurut Al-Razi, tentang apa yang mereka katakan كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده ممتنعا setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah terlarang” kontradiktif dengan pendapat mereka sendiri yang mengatakan bahwa Allah memuji dengan menafikan kezaliman pada diri-Nya seperti dalam QS Fussilat 46, "Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya." Begitu pula dalam QS. Shad 27, Allah memuji dengan menafikan ‘abats (sia-sia) pada diri-Nya,"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (sia-sia)."
Namun, pada satu sisi mereka berpendapat bahwa Allah SWT mampu melakukan kezaliman dan melakukan sesuatu yang sia-sia (al-Razi, Vol I, tt 300). Mestinya jika mereka konsisten dengan pendapat mereka yang mengatakan “كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده ممتنعا setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah terlarang” tentu mereka akan mengatakan bahwa muhal (terlarang) jika Allah berbuat kezaliman.
Persoalan:
QS. Al-A’raf 143 ...لن تراني... sekali-kali kamu (Musa) tidak akan dapat melihat-Ku.
Menurut mereka kalimat di atas menunjukkan litta’bid, (selamanya) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath 15: Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti Kami.”
Jika demikian, berarti Nabi Musa tidak (akan) pernah melihat Allah sama sekali, dan hal ini juga berlaku bagi orang lain tegas Al-Razi.
Bantahan:
Menurut Imam Al-Razi, bahwa kalimat “لن “ tidak menunjukkan litta’bid dengan dalil firman Allah SWT QS. Al-Baqarah 95, ولن يتمنوه ابدا (dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya) karena sesungguhnya mereka mengharapkan kematian di akhirat seperti dalam QS. Al-Zukhruf 77, ونادوا يامَالِكُ لِيَقْضِ علينا رَبُّكَ قال اِنكم مَّاكِثُون mereka berseru “ Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab “kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).
Hal yang sama (لن bukan litta’bid) juga ditegaskan oleh Syekh Jamaluddin bin Malik seperti dikutip oleh Al-Qadli Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-‘Izz al-Dimasyqi sebagai berikut (Abi Al-‘Izz, tt: 214);
ومَن رَأى النَّفْيَ بِ لنْ مُؤَبَّدا فقَوْلَهُ ارْدُدْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا
Barangsiapa berpendapat bahwa kata “lan” adalah penafian selama-lamanya, maka tolaklah pendapatnya dan ambillah pendapat selainnya.
Persoalan:
QS. Al-Syura 51: Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.
Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berbicara dengan Allah SWT, sesungguhnya orang tersebut tidak melihat-Nya. Jika waktu kalam (berbicara) orang tersebut tidak melihat-Nya secara otomatis selain waktu kalam juga tidak melihat-Nya. Hal ini tidak ada yang menselisihinya (Al-Razi, tt: 296).
Bantahan:
Wahyu adalah mendengarkan kalam dengan cepat, dan bukan mengenai terhalangnya ru’yah atau tidak. Oleh karena itu mana yang menunjukkan tentang kenafiannya ru’yah?
Persoalan:
Allah Ta’ala tidak menyebut ru’yah dalam Al-Qur’an kecuali mengingkarinya (tidak membenarkan), hal itu terdapat pada tiga ayat,
Pertama : QS. Al-baqarah 55,
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya
Kedua: QS. An-Nisa’ 153.
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka Telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir Karena kezalimannya,
Ketiga : QS. Al-Furqon 21
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar Telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman".
Pengingkaran (ru’yah) pada ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa ru’yatullah adalah sesuatu yang terlarang.
Bantahan:
Isti’dzam atau pengingkaran (tidak membenarkan) permintaan ru’yatullah karena semata-mata bentuk kedurhakaan dan keras kepala mereka, seperti permintaan mereka agar diturunkan malaikat (Al-Furqon 21), padahal menurut Al-Razi turunnya malaikat adalah sesuatu yang jawaz dan tidak ada yang menentangnya, karena permintaan mereka (agar diturunkan malaikat) adalah bentuk kedurhakaan mereka, maka Allah pun tidak membenarkan permintaanya (Al-Razi, tt: 300).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ru’yatullah (melihat Allah) di dunia merupakan sesuatu yang jaiz aqlan, namun yang mendapat kesempatan hanyalah Rasulullah SAW semata, dan itu pun beliau dapat melihat-Nya dengan kedua mata. Pendapat ini menurut Imam An-Nawawi adalah pendapat yang kuat dari kalanngan mayoritas ulama. Namun perlu diketahui, bahwa hal ini bukan berarti Rasulullah mengetahui hakikat Allah, akan tetapi bertambahnya idrak (memahami dan mengenal) kepada Allah pada diri Rasulullah, dan idrak ini pun tidak sampai pada batas ihathah (meliputi) terhadap kesempurnaan Allah SWT.
Sedangkan ru’yatullah dengan kedua mata, di akhirat menurut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Asy’ari adalah sesuatu yang nyata bagi orang mukmin. Sedangkan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah, mereka menafikan hal ini.
Wallahu a’lam.
(Khifni Nasif, Sekretaris Aswaja Center GP Ansor Kudus, Pengajar di Madrasah Diniyah Darul Ulum Ngembalrejo Kudus)
Script