Kata “pendusta agama” dapat ditemukan di Al-Quran pada awal Surat Al-Ma‘un. Kata ini masuk ke dalam kalimat pertanyaan yang segera dijawab pada ayat selanjutnya. Pendusta agama pada ayat ini bukan ia yang abai dengan simbol-simbol formal agama, tetapi ia yang tidak berjiwa sosial. Surat ini mengingatkan kita yang cenderung beragama lebih secara formal.
Kata “pendusta agama” pada ayat ini dikaitkan dengan ketidakpedulian seseorang yang mengaku beragama terhadap masyarakat yang terbelakang secara ekonomi dan unsur masyarakat yang terlantar.
Berikut ini adalah tiga ayat pertama Surat Al-Ma‘un.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ.فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ.وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Artinya, “Tahukah kau (wahai Muhammad) siapa orang yang mendustakan agama? Dia adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin,” (Surat Al-Ma‘un ayat 1-3).
Sementara Imam Hatim bin Ulwan Al-Asham juga mengaitkan bukti pengakuan cinta agama seseorang dan perilaku keseharian yang bersangkutan. Pasalnya, banyak orang yang mengaku cinta Allah, cinta Rasulullah SAW, dan cinta surga memiliki perilaku yang berjauhan dengan semangat agama itu sendiri.
وقال حاتم بن علوان قدس سره من ادعى ثلاثا بغير ثلاث فهو كذاب: من ادعى حب الله تعالى من غير ورع عن محارمه فهو كذاب، ومن ادعى محبة النبي من غير محبة الفقر فهو كذاب ومن ادعى حب الجنة من غير إنفاق ماله فهو كذاب.
Artinya, “Hatim bin Ulwan Al-Asham mengatakan, ‘Siapa saja yang mengaku tiga hal tanpa disertai tiga hal, maka ia pendusta. Pertama, siapa saja yang mengaku cinta Allah tanpa sikap wara’ dari yang diharamkan, maka ia pendusta. Kedua, siapa saja yang mengaku cinta Nabi Muhammad SAW tanpa sikap ‘mencintai’ kefakiran, maka ia pendusta. Ketiga, siapa saja yang mengaku cinta surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia pendusta,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah Qami'ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 5).
Agama Islam memiliki tuntutan formal yaitu shalat, zakat, puasa, haji, muamalah, perkawinan, dan sebagainya. Tanggung jawab umat Islam tidak selesai hanya dengan menunaikan tuntutan formal tersebut. Agama Islam juga memiliki tuntutan sosial yang sama wajibnya dengan tuntutan formal.
Adapun orang yang mencintai Nabi Muhammad SAW secara formal bisa dibuktikan dengan jumlah bacaan shalawat. Tetapi cinta kepada Nabi Muhammad SAW dapat dibuktikan dengan kepedulian terhadap anak yatim dan fakir miskin.
Mereka yang menderita kefakiran diharuskan tetap menjaga sunnah nabi, yaitu pergi ke pasar untuk berikhtiar, tidak bersikap pasif, dan tidak berbuat kalap karena kefakirannya.
Sebagaimana diketahui Imam Abu Abdirrahman Hatim bin Ulwan yang wafat pada tahun 237 H dijuluki Imam Hatim Al-Asham. Secara harfiah Imam Hatim Al-Asham berarti Syekh Hatim yang tuli karena pernah berpura-pura tuli karena menyelamatkan muka tamunya.
Ia merupakan seorang ulama yang menjadi kiblat masyarakat Khurasan di zamannya karena keilmuan dan kezuhudannya. Wallahu a‘lam.