Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa pada 10 Hari Terakhir Ramadhan, kita dibebaskan dari api neraka
Beberapa hari lalu saya shalat Dzuhur di sebuah masjid kawasan Jakarta. Kebetulan saat itu ada jenazah yang hendak dishalatkan. Sebelum memulai shalat, sang imam menyampaikan ceramah singkat, salah satunya mengenai keutamaan bulan Ramadhan.
“Awal bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Berhubung saat ini adalah pertengahan bulan Ramadhan, maka ampunan Allah dibuka selebar-lebarnya dan insyaallah jenazah ini diberikan ampunan”. Kira-kira seperti itu ucapan sang imam.
Bukan kali ini saja saya mendengar penceramah yang menyebutkan hadis ini. Di beberapa masjid lain, bahkan pada Radmadhan tahun-tahun lalu juga saya pernah mendengar ceramah mengenai ini. Adapun teks asli dari hadis ini adalah:
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطَهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Permulaan bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan penghabisannya merupakan pembebasan dari neraka
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam kitab al-Dhu’afa, Ibn ‘Adiy, al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, al-Dailami dan Ibn ‘Asakir. Adapun sanadnya yaitu Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin al-Shalt, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW.
KH Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan” mengatakan sebagaimana menukil perkataan Imam al-Suyuti bahwa hadis ini daif (lemah). Sumber kelemahan hadis ini berasal dari dua orang rawi, yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt.
Menurut Ibnu Adiy (kritikus hadis) Sallam bin Sawwar adalah munkar al-hadits (hadisnya munkar). Sementara kritikus lain, Imam Ibn Hibban mengatakan bahwa Sallam bin Sulaiman tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan), kecuali apabila ada rawi lain yang meriwayatkan hadisnya. Sedangkan Maslamah bin al-Shalat adalah matruk al-hadits (hadisnya matruk), sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hatim.
Dalam ilmu hadis, suatu hadis disebut munkar apabila dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasik).
Sedangkan hadis disebut hadis matruk apabila dalam sanadnya terdapat perawi yang dituduh sebagai pendusta. Pasalnya sang perawi dalam kesehariannya sering berdusta, sehingga ia pun dituduh sebagai pendusta ketika meriwayatkan hadis.
Hadis munkar dan matruk merupakan kategori hadis yang sangat lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran. Hadis matruk menempati posisi hadis paling lemah kedua setelah maudhu, sedangkan hadis munkar menempati urutan ketiga setelah matruk.
Dalam ilmu hadis, hadis dhaif dapat naik tingkatannya menjadi hasan lighairi apabila ada riwayat lain yang sama kualitasnya, dengan syarat kedhaifan hadis tersebut bukan karena perawinya adalah pendusta atau pelaku maksiat (fasik).
Selain sanad pertama, Ibn Khuzaimah juga meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang berbeda. Bahkan riwayat Ibn Khuzaimah lebih panjang dan lengkap dari riwayat yang pertama. Namun sayangnya, riwayat Ibn Khuzaimah juga ternyata dhaif, dikarenakan dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Zeid bin Jud’an.
Menurut ulama ahli kritik hadis, Imam Yahya bin Ma’in, Ali bin Zeid bin Jud’an dinilai laisa bi hujjah (tidak bisa dijadikan hujjah), sedangkan menurut Imam Abu Zur’ah, Ali bin Zeid bin Jud’an laisa bi qowiy (tidak kuat). Dalam kaidah ilmu kritik rawi hadis (jarh wa ta’dil), perawi apabila mendapatkan kritik seperti itu maka hadisnya tidak dapat dijadikan dalil dalam agama. (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) h.17)
Oleh karena itu, hadis riwayat Ibn Khuzaimah tidak dapat memperkuat hadis dari sanad yang pertama. Begitu pula sebaliknya. Karena kedua sanadnya bermasalah.
Berdasarkan hal ini, KH Ali Mustafa Yaqub menyatakan, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil untuk masalah apapun, dan tidak layak pula disebut-sebut dalam ceramah atau pengajian Ramadhan. Apalagi para ulama hadis mengatakan bahwa meriwayatkan (menyampaikan) hadis dha’if tidak dibenarkan kecuali disertai penjelasan tentang kedhaifan hadis tersebut (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h.15)
Sayangnya, masih banyak penceramah yang tidak memperhatikan kualitas hadis ini, melainkan hanya terfokus pada fadhilah bulan Ramadhan saja. Meskipun demikian, bukan berarti setelah mengetahui hukum hadis ini kita menjadi bermalas-malasan dan berputus asa dari ampunan Allah. Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW memang menyatakan bahwa orang yang mendirikan malam-malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka dosanya akan diampuni.
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa bangun (shalat) malam pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap (ridla Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan di ampuni.” (HR Muslim)
Wallahu a’lam bisshawab.
FERA RAHMATUN NAZILAH
Mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, penulis tema-tema kajian hadis dan perempuan Script