ilustrasi |
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Terlebih dahulu kami mohon maaf karena kami akan mengajukan setidaknya tiga pertanyaan. Pertama adalah mengenai makna fitrah yang ada dalam hadits, “Lima perkara merupakan fitrah yaitu, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”
Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak. Ketiga, mengenai hikmah di balik pencabutan bulu ketiak dan pencukuran bulu kemaluan. Kenapa bulu ketiak dicabut sedang bulu kemaluan dicukur, serta bolehkah kalau buku ketiak dicukur? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Soleh/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kesempatan kali ini kami akan memberikan respon atau jawaban atas pertanyaan yang ketiga, yaitu mengenai hikmah kesunahan untuk mencabut ketiak dan mencukur bulu kemaluan. Sekaligus juga memberikan jawaban mengenai pertanyaan apakah boleh ketiak itu dicukur.
Hikmah dari mencabut bulu ketiak menurut keterangan kami dapatkan adalah bahwa ketiak merupakan tempat persemayaman bau tak sedap. Sebab di situ biasanya merupakan tempat daki dan bercampur dengan keringat. Dengan mencabutnya setidaknya bisa mengurangi bau tersebut.
Lain halnya ketika bulu ketiak itu dicukur atau dipotong, bukan dicabut. Pencukuran bulu ketiak akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi semakin lebat dan menambah bau ketiak. Oleh karenanya rekomendasi yang diberikan adalah pencabutan buku ketiak bukan pencukuran. Demikian sebagaimana yang kami pahami dari keterangan berikut ini.
اَلْحِكْمَةُ فِي نَتْفِهِ أَنَّهُ مَحَلٌّ لِلرَّائِحَةِ الكَرِيهَةِ وَإِنَّمَا يَنْشَأُ ذَلِكَ مِنَ الْوَسَخِ اَلَّذِي يَجْتَمِعُ بِالْعَرَقِ فِيهِ فَيَتَلَبَّدُ وَيهِيجُ فَشُرِعَ فِيهِ النَّتْفُ اَلَّذِي يُضْعِفُهُ فَتَخِفُّ الرَّائِحَةُ بِهِ بِخِلَافِ الْحَلْقِ فَإِنَّهُ يُقَوِّي الشَّعْرَ وَيُهَيِّجُهُ فَتَكْثُرُ الرَّائِحَةُ لِذَلِكَ
“Hikmah dari mencabut bulu ketiak adalah bahwa ketiak merupakan tempat bersemayamnya bau tak sedap. Dan bau tak sedap itu akibat dari daki yang bercampur dengan keringat yang ada di dalam ketiak yang kemudian menyebabkan bulu ketiak menjadi kempal dan lebat. Lantas disyariatkan mencabut bulu di ketiak dimana pencabutan tersebut bisa melemahkan bulu ketiak kemudian mengurangi baunya. Berbeda dengan mencukurnya yang malah menguatkan bulu dan melebatkannya sehingga semakin menambah bau (tak sedap) ketiak tersebut,” (Lihat Ibnu Hajr Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz X, halaman 344).
Lantas jika yang direkomendasikan adalah pencabutan bulu ketiak, apakah boleh mencukurnya? Jawabannya, tentu diperbolehkan juga mencukur bulu ketiak dan berhak mendapatkan kesunahan, meskipun hal ini kurang afdhal. Sebab, yang afdhal adalah mencabutnya sebagaimana bunyi redaksi haditsnya.
أَمَّا نَتْفُ الْإِبْطِ فَسُنَّةٌ بِالْاِتِّفَاقِ وَالْأَفْضَلُ فِيهِ اَلنَّتْفُ لِمَنْ قَوِيَ عَلَيْهِ وَيَحْصُلُ أَيْضًا بَالْحَلَقِ وَبِالنُّورَةِ.
Artinya, "Menurut kesepakatan para ulama, mencabut bulu ketiak adalah sunah. Afdhalnya dalam hal ini mencabutnya bagi orang yang memang kuat menahan sakitnya, kendati demikian kesunahan tersebut bisa diperoleh dengan mencukur atau menghilangkannya dengan memakai tawas.”
Inti dari penjelasan itu adalah penjagaan kebersihan, di mana untuk kasus bulu ketiak sebaiknya dicabut bagi orang yang memang mampu menahan rasa sakitnya. Berbeda dengan bulu kemaluan di mana cukup hanya dengan mencukur sudah dianggap cukup untuk membersihkannya. Di samping itu mencabut bulu kemaluan tentunya akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, karenanya rekomendasi yang diberikan adalah dengan mencukurnya.
Namun rekomendasi pencukuran bulu kemaluan itu menurut keterangan yang kami pahami dalam kitab Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib itu diperuntukkan untuk laki-laki. Sedang untuk perempuan sebaiknya atau yang afdhal adalah mencabutnya.
Salah satu hikmahnya adalah menurut para ulama bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkannya. Berbeda dengan para para ulama tersebut adalah argumen yang dikemukakan oleh Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya.
وَالْأَفْضَلُ لِلذَّكَرِ الْحَلْقُ وَلِغَيْرِهِ النَّتْفُ، وَقَالُوا فِي حِكْمَتِهِ، إنَّهُ يُضْعِفُ الشَّهْوَةَ، وَالْحَلْقُ يُقَوِّيهَا وَعَكَسَ الْمَالِكِيَّةُ. وَقَالُوا: لِأَنَّ نَتْفَهَا يُرْخِي الْفَرْجَ
Artinya, “Yang paling afdhal bagi laki-laki adalah mencukur bulu kemaluan, sedangkan bagi perempuan adalah mencabutnya. Para ulama berkata tentang hikmahnya, ‘Bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkan syahwat. Berbeda dengan ulama dari kalangan Madzhab Maliki, mereka menyatakan; ‘Karena mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya,’” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz I, halaman 337).
Menarik apa yang dikemukakan oleh para ulama tersebut mengenai hikmah pencabutan dan pencukuran bulu kemaluan. Rekomendasi bagi perempuan adalah pencabutan bulu kemaluan karena dianggap dapat mengendalikan syahwatnya. Sedangkan menurut pandangan dari Madzhab Maliki hal itu dianggap bisa melembutkan kemaluannya.
Sedang untuk laki-laki direkomendasikan untuk mencukurnya karena diangap akan mampu menambah daya vitalitasnya. Kendati demikian bahwa yang afdhal bagi perempuan mencabut bulu kemaluan.
Tetapi hemat kami, pandangan ini harus dibaca dalam konteks bagi perempuan yang memang sanggup menahan rasa sakitnya. Jika memang tidak sanggup, maka mencukur bulu kemaluannya juga tidak menjadi masalah dan berhak mendapatkan kesunahan, meskipun tidak mendapatkan keafdhalan atau keutamaan. Sebab, yang utama menurut pandangan ini adalah mencabutnya.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwmith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan) Script