Sabtu, 31 Maret 2018

BENTUK-BENTUK CARA TRANSAKSI JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF FIQIH


Ada banyak macam jenis sistem jual beli yang berlaku umum di masyarakat kita, mulai dari masyarakat “primitif” sampai dengan masyarakat modern. Jual beli klasik umumnya dilaksanakan melalui metode barter. Di masa awal risalah kenabian, tradisi ini sudah sangat berkembang dan umum berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah kala itu. Itulah sebabnya ada istilah dzahaban bi dzahabin, yadan bi yadin di dalam seri pelajaran fiqih muamalah terapan pada umumnya.

Istilah yadan bi yadin sering dimaknai dengan unsur saling serah-terima barang antara penjual dan pembeli. Sementara itu, unsur dzahaban bi dzahabin sering dimaknai dengan unsur tukar-menukar yang sama jenis, misalnya emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan lain sebagainya. Kunci utama kebolehan bermuamalah tukar-menukar (barter) ini adalah apabila wujud dzat keduanya – antara yang diserahkan dan yang diterima – adalah sama. Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي سعيد الخدري -رضي الله تعالى عنه- وهو حديث متفق عليه، يقول – صلى الله عليه وسلم-: )لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلاً بمثلٍ ولا تُشِفُّوا بعضها على بعض) يعني لا تزيدوا (ولا تبيعوا الوَرِق) الذي هو الفضة (بالورق، إلا مثلاً بمثلٍ، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائباً بناجز) يعني لابد من التقابض، وفي لفظ مسلم بعد أن ذكر الأصناف الربوية: (مثلاً بمثلٍ يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي سواء) يعني من زاد في قضية التبادل، تبادل الجنس بجنسه، أو استزاد طلب الزيادة فقد وقع في الربا (الآخذ والمعطي سواء) رواه أحمد والبخاري

Artinya: “Sebuah hadits yang telah disepakati keshahihannya, dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda : (“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali semisal, dan jangan kalian melebihkan sebagian atas sebagian yang lain!), artinya jangan kalian menambahkan .. (“dan janganlah kalian menjual dirham (al-wariq)”), yaitu perak (al-fidh-dhah), (“dengan dirham”) kecuali semisal, dan janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (ghaib) dengan sesuatu yang ada di tempat (al-nâjiz)”), artinya harus ada serah-terima (al-taqâbudh).” Dalam lafadz hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, setelah menjelaskan barang-barang ribawi : (“semisal serta tunai, barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil dan memberi adalah sama saja”), artinya barangsiapa menambah dalam konteks tukar – menukar (at-tabâdul), tukar – menukar dengan jenisnya, atau meminta tambahan maka telah melakukan riba, (“yang mengambil dan menerima adalah sama”. HR. Imam Ahmad dan Al-Bukhari (Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Nailul Authâr, Daru al-Hadits, 1993, Juz. 3, hal. 225)

Beberapa kandungan penting dari hadits di atas dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Jual beli barter adalah boleh namun harus berupa barang yang semisal (sama)
  2. Salah satu dari dua pihak penjual dan pembeli, tidak boleh ada yang melebihkan takaran atau menguranginya. 
  3. Tidak boleh barter antara dua barang yang berbeda jenis. Misalnya antara emas dengan perak, atau antara gandum dengan beras kecuali dilakukan secara yadan bi yadin. 
  4. Tidak boleh tukar-menukar antara barang yang berbeda timbangan atau takaran. Misalnya, antara beras dengan berat dengan jenis bagus seberat 1 kilogram, ditukar dengan beras kualitas rendah seberat 1,5 kilogram.
  5. Tidak boleh jual beli barang yang tidak ada atau belum ada.

Semua bentuk perbedaan ukuran, jenis, takaran, timbangan dan perbedaan kualitas sehingga menyebabkan salah satu dari kedua barang mendapatkan tambahan takaran, atau ukuran, maka semua kelebihan tersebut adalah riba. Di dalam hadits di atas, disebutkan: 

فمن زاد أو استزاد فقد أربى

Artinya: “Barangsiapa menambah atau meminta tambah, maka betul-betul telah melakukan riba.”

Dr. Amar Abdullah dalam kitab Fiqh al-Mu’amalat, memberikan definisi atas riiba sebagai berikut:

أن الربا: الزيادة عند مبادلة الأصناف الربوية بعضها ببعض، الزيادة عند مبادلة الأصناف الربوية ببعضها إذا كانت من جنس واحد، وتأجيل القبض في العوضين أو في أحدهما في هذه الأصناف

Artinya: “Sesungguhnya riba itu adalah tambahan yang terjadi saat tukar-menukar (mubâdalah) barang ribawi (al-ashnaf ar-ribawiyah) dengan sebagian lainnya, yang berasal dari satu jenis. Riba juga terjadi akibat penundaan penyerahan (al-qabdh) kedua barang yang saling dipertukarkan nilainya (al-iwadhain), atau penundaan salah satu dari keduanya yang saling dipertukarkan ini.” (Dr. Amar Abdullah, Fikih al-Muamalat, Al-Dars al-Khamîs, Maktabah Akademiyah, tt, hal. 7-10!)

Walhasil, berdasar definisi Dr Amar Abdullah di atas, maka riba merupakan suatu tambahan yang terjadi akibat jual beli secara “barter antar barang ribawi” baik dengan sesama jenisnya (misal: emas dengan emas)—yang disertai dengan tambahan takaran salah satu di antara keduanya - atau tukar-menukar berbeda jenisnya (misal, emas dengan perak) akan tetapi yang dilakukan dengan jalan penangguhan (tempo, kredit). 

Menggarisbawahi dari larangan jual beli emas dengan jalan “tangguh/tempo/kredit” dari definisi di atas, sepertinya Dr. Amar Abdillah ini condong pada pendapat kalangan ulama Hanabilah. Oleh karena itu, tidak heran bila mereka melarang jual beli emas secara kredit. 

Bagaimana pandangan ulama Syafi’iyah terhadap aqad emas secara kredit ini? Kita simak pendapat al-Darimi berikut ini:

قال الدارمي في جمع الجوامع و من خطه نقلت : إذا كان المبيع غير الذهب و الفضة بواحد منهما فالنقد ثمن و غيره مثمن و يسمى هذا العقد : بيعا و إذا كان غير نقد سمى هذا العقد : معاوضة و مقايضة و منافلة و مبادلة لان كان نقدا سمي : صرفا و مصارفة و إن كان الثمن مؤخرا سمي : نسيئة وإن كان المثمن مؤخرا سمي : سلما أو سلفا و إن كان المبيع منفعة : سمي : إجارة أو رقبة العبد له سمي : كتابة أو بضعا سمي : صداقا أو خلعا انتهى

Artinya: “Berkata Imam al-Darami dalam kitab Jam’u Aljawaami’:

  • Bila yang dijual tidak berupa emas dan perak sedang (alat pembayaran) dengan alat pembayaran emas dan perak (uang), maka alat pembayaran dinamakan “harga” sedang barangnya dinamakan “yang dihargai”, dan transaksinya namanya “jual beli”
  • Bila alat pembayaran tidak berupa emas dan perak (uang, misalnya barang dengan barang) nama transaksinya mu’âwadhah, muqâyadhah, munâfalah, mubâdalah (barter)
  • Namun jika alat pembayaran berupa emas dan perak (nuqud/uang), maka transaksinya disebut krus (sharf) dan perbelanjaan (mushârafah).
  • Bila harga (uang) diberikan secara penundaan, maka nama transaksinya kredit.
  • Bila barangnya yang diberikan di belakang, maka nama transaksinya adalah pesan (salam)
  • Bila barang berupa jasa,maka nama transaksinya adalah sewa
  • Bila barang berupa pembebasan hamba, maka nama transaksinya adalah kitâbah, dan 
  • Bila barang berupa bidla’an (farji),maka nama transaksinya adalah shidaq (mahar), khulu’ (tebusan). (Tajuddin al-Subky, Al-Asybah wa al-Nadhâir, Maktabah al-Arabiyah Al-Kubra, Juz 1, halaman 463)

Melihat dari definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli berbeda jenis antara emas dan perak dengan transaksi pembayaran adalah berupa uang, maka jual beli yang demikian ini diperbolehkan. Termasuk yang juga diperbolehkan adalah jual beli dengan harga ditunda penyerahannya, yakni kredit dan tempo. Dengan demikian, maka menurut kalangan Syafi’iyah, jual beli emas dengan jalan kredit adalah diperbolehkan, sehingga pendapat kalangan Hanabilah di atas ditolak di kalangan Syafi’iyah. Namun, ada catatan yang harus diperhatikan oleh kalangan Syafiiyah adaah: harga sudah ditentukan di awal transaksi muamalah terjadi, selama belum berpisah majelis. Wallahu a’lam.

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur 
dilansir dari: web.nu
Script