Manusia lahir dengan bekal anugerah Allah SWT berupa pancaindera (al-khawwash). Dengan pancaindera, ia bisa mengenal lingkungan sekelilingnya, dan dapat menyebut nama-nama benda yang ada (QS Al Baqarah: 31). Dengan berbagai sebutan ini, manusia mulai mengenal kebutuhan. Kebutuhan yang pertama adalah kebutuhan pokok yang berhubungan dengan menjaga kehidupannya. Agar tetap lestari, ia membutuhkan makanan dan minuman. Untuk mencukupi kebutuhannya ini, Allah mengilhamkan kepada manusia agar berburu dan bercocok tanam.
Seiring bertambahnya jumlah manusia dan berkurangnya spesies hewan buruan, maka mulailah lahir kebutuhan yang lain. Kebutuhan itu berupa upaya memenuhi kekurangan suplai makanan. Semula manusia memenuhinya dengan jalan merebut makanan yang sudah dimiliki oleh orang lain. Mulailah terjadi adanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah. Di sisi yang lain, manusia dengan bekal anugerah akal dan budi, manusia mulai mencoba mengatasi kebutuhannya ini dengan jalan damai. Mereka kemudian membangun ide tukar menukar barang (barter). Sejak saat itu, mulailah dikenal sistem pertukaran barang yang menjadi cikal bakal dari perdagangan modern dewasa ini.
Selang beberapa waktu setelah mentradisinya sistem barter, mulailah muncul kesulitan-kesulitan menerapkan sistem pertukaran itu. Manusia mulai kesulitan untuk menemukan orang lain yang memiliki barang yang dibutuhkannya. Kadang ia mendapati barang yang diperlukan, namun ternyata barang itu bernilai tukar tinggi. Konsep orang yang butuh selalu harus membayar dengan harga yang mahal untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan ini, akhirnya mendorong orang untuk menciptakan “alat tukar” (mutaqawwam). Dengan demikian, keberadaan alat tukar pertama ini adalah dimaksudkan untuk mengatasi persoalan naik-turunnya harga (inflasi) akibat faktor terdesaknya kebutuhan. Selanjutnya, alat tukar ini dikenal dengan istilah “nilai tukar/nilai takar” (‘iwadl al-mitsli/qîmatu al-mitsli/al-waznu al-mitsli).
Alat tukar pertama yang diperkenalkan dalam sejarah Romawi, adalah garam (salirium). Begitu lekatnya garam dipergunakan, sampai sekarang dalam kamus bahasa Inggris, penyebutan gaji masih menggunakan istilah salary yang berarti gaji/imbalan. Sejarah kemudian berbicara bahwa penggunaan garam sebagai alat tukar tidak efektif disebabkan ia tidak memiliki pecahan-pecahan kecil. Kendala lain dari penggunaan garam sebagai alat tukar (mutaqawwam) adalah mudahnya garam mengalami penyusutan sehingga tidak bisa disimpan lama. Selain itu, keberadaan garam sebagai alat tukar juga membutuhkan jasa lain yang berupa alat angkutan karena faktor bobot yang ia miliki. Berangkat dari latar belakang ini, dicarilah ide untuk membuat alat tukar lain yang mampu bertahan lama, tidak mudah mengalami kerusakan, dan praktis di bawa ke mana saja serta mudah disimpan/ditabung.
Setelah ditemukannya logam, pada akhirnya, logam ini kemudian dijadikan sebagai alat tukar pengganti garam. Karena banyak orang yang bisa membuat logam sendiri dengan berbekal kemampuannya, maka ditentukanlah syarat logam yang bisa dijadikan sebagai alat tukar sebagai barang yang harus bernilai tinggi. Logam ini pada akhirnya disepakati berupa emas dan perak. Semenjak itu, mulailah era emas dan perak sebagai alat tukar. Ia diciptakan dalam bentuk koin-koin. Inilah koin pertama atau mata uang pertama kali yang diperkenalkan dalam sejarah manusia. Koin ini, di Al-Qur’an, bisa mudah kita temukan keterangannya pada kisah Ashabul Kahfi.
Melihat sejarah bagaimana munculnya mata uang ini, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya di dalam sebuah mata uang, tersimpan dua unsur: fungsi dan nilai. Keduanya secara bersama-sama berdiri sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kedua fungsi dan nilai mata uang (koin) tersebut adalah sebagai berikut:
- Sebagai alat tukar (mutaqawwam) yang berguna untuk menukarkan barang.
- Sebagai nilai tukar (al-‘iwadl al-mitsli, al-qîmatu al-mitsli, atau al-tsamanu al-mitsli).
Uang sebagai “nilai tukar” memiliki dua unsur penyusun, yaitu:
- Nilai bahan yang terdiri atas logam berharga yakni berupa emas
- Nilai tertera yang terdiri atas angka atau satuan yang tertulis di atasnya.
Antara kedua nilai bahan dan nilai tertera ini terkadang bisa dipisahkan. Pernahkah saudara pembaca menemukan keping uang 500 rupiah dengan bahan yang berbeda? Karena bahannya berbeda, sejatinya ia memiliki nilai tukar yang berbeda. Namun, perbedaan nilai tukar berdasar bahan ini dijembatani oleh satuan angka yang tertuang di atas koin. Kelak insyaallah akan dijelaskan lebih lanjut, fungsinya. Wallahu a’lam.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
sumber:nu online
Script